Rabu, 13 Oktober 2010

IQ vs EQ vs SQ

Para ilmuan sosial berdebat tentang apa sebenarnya yang membentuk IQ seseorang.  Mereka mengungkapkan bahwa IQ dapat diukur dengan menggunakan uji-uji kecerdasan standar, misalnya wechlsler intelligence scale, yang mengukur baik kemampuan verbal maupun non verbal, termasuk ingatan perbendaharaan kata, wawasan, pemecahan masalah, abstraksi logika, persepsi, pengolahan informasi, dan keterampilan motorik visual.  "Faktor intelegensia umum" yang diturunkan dari skala ini yang disebut IQ dianggap sangat stabil sesudah anak berusia enam tahun dan biasanya berkorelasi dengan uji-uji bakat seperti ujian masuk perguruan tinggi.
Makna EQ agak membingungkan.  Salovey dan Mayer mula-mula mendefinisikan kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilih-milih semuanya, dan menggunakan informasi untuk membimbing pikiran dan tindakan.  Mereka keberatan istilah EQ dipakai sebagai sinonim kecerdasan emosional, karena khawatir akan menyesatkan sehingga dapat memunculkan anggapan bahwa ada pngujian yang akurat untuk mengukur EQ atau ini dapat dikukur.  Namun, kenyataanya meskipun EQ mungkin tidak pernah bisa diukur, tetapi masih mengandung konsep yang bermakna.  Walaupun kita tidak dapat begitu saja mengukur bakat atau sifat-sifat khas seseorang.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatakan konseptual maupun di dunia nyata.  Idealnya, seseorang dapat menguasai kterampilan kognitif sekaligus keterampilan sosial dan emosional sebagaimana ditunjukkan oleh negarwan besar dunia.  Menurut pakar ilmu politik di Duke University, James David Barber, Thomas Jefferson memiliki perpaduan antara kepribadian dan intelektualitas yang nyaris sempurna.  Ia dikenal sebagai komunikator yang hebat dan penuh empati, selain sebagai seorang jenius sejati.  Pada tokoh besar lain, EQ yang tinggi tampaknya sudah cukup.  Banyak orang berpendapat bahwa kepribadian Franklin Delano Rosevelt yang dinamis dan optimisme yang luar biasa merupakan faktor paling penting dalam memimpin Amerika mengatasi masa-masa kritis zaman depresi dan Perang Dunia II.  Namun, Oliver Wendell Holmes menggambarkan Roosevelt sebagai orang yang memiliki kecerdasan kelas dua, tetapi kematangan emosi kelas satu.  Hal yang sama juga ditunjukan untuk John F. Kennedy, yang menurut para sejarawan lebih banyak memimpin Amerika dengan hatinya ketimbang dengan kepalanya.

0 komentar:

iklan